Lahirlah Kelas Ekonomi Dadakan dan Terbongkarnya Sisi Gelap “Floating Money” ” Fee Based Income” Daerah
Beberapa minggu terakhir, Indonesia tanpa sadar sedang kuliah ekonomi massal.
Dosennya bukan di Harvard atau UI. Tapi: Purbaya Yudhi Sadewa, si Menkeu bergaya koboi, dan Dedi Mulyadi (KDM), gubernur yang bicara pakai logika rakyat.
Mata kuliahnya? “Floating Money dan Dana Mengendap.”
Materinya? Triliunan rupiah uang rakyat.
Lucunya, semua orang jadi murid. Mulai dari guru SD sampai pejabat BUMN.
Semuanya ikut nimbrung, diskusi, analisa, bikin thread, bahkan debat.
Dan untuk pertama kalinya, masyarakat bicara ekonomi dengan antusiasme politikus kampanye.
Efek Purbaya. 🔥
Lihat komentar netizen—cerdas, tajam, santun.
Dari “Guru Matematika” sampai ibu rumah tangga ikut buka data.
Rasanya kayak Indonesia tiba-tiba punya jutaan analis ekonomi baru.
Ini keren. Ini literasi publik yang hidup.
Satu langkah lagi menuju bangsa melek keuangan.
Tapi… seperti biasa, di balik keramaian kelas, selalu ada “ujian akhir” yang lebih dalam.
Mari kita bahas pelajaran lanjutan versi Don Baros:
📘 Pelajaran 1: Mas Pur, Bukan Inkonsisten — Tapi Main di Dua Dimensi
Banyak yang bilang, “Purbaya inkonsisten. Deposito dikritik, giro juga dikritik. Mau apa sih?”
Nah, ini salah kaprah.
Mas Pur itu bukan inkonsisten — dia cuma main di dua layer ekonomi sekaligus.
Bayangkan uang daerah itu seperti mobil dinas.
Kalau uang daerah disimpan di Deposito, itu kayak mobil yang diparkir di garasi. Aman, tapi diam. Nggak nganter rakyat ke pasar, nggak nyicil pembangunan.
Pak Purbaya bilang: “Jalankan mobilnya! Gerakkan ekonomi, jangan disimpan.”
Tapi kalau uang daerah disimpan di Giro, itu kayak parkir di pinggir jalan tanpa pengaman.
Bisa digas sama orang lain. Bank pakai buat kredit, pejabat dapet fee, rakyat cuma dapet… cerita.
Makanya, Mas Pur bukan inkonsisten.
Dia bilang: kalau mobilnya harus parkir, parkir lah di tempat yang menghasilkan (Deposito).
Tapi kalau bisa, ya jalanin buat rakyat.
Simple. Tapi kena.
⚠️ Pelajaran 2: “Sisi Gelap Floating Money”
Di Sini Uangnya Hilang
Nah, di sinilah kelas ekonomi berubah jadi film thriller.
Ada komentar menarik:
“Bahaya tuh, uang di giro bisa dijual ke kredit jangka pendek. Selisih bunga dibagi dua.”
Dan… boom 💥 — inilah yang disebut Don Baros: floating money corruption.
Modus lama, wajah baru.
Dana APBD ditaruh di giro, bank pakai uang itu buat puterin kredit,
selisih bunga dibagi dua antara bank dan oknum pemda.
Legal di kertas, tapi ilegal di hati nurani.
📉 Kasus nyata?
Kasus Fee BPD: dana Rp 360 miliar dari APBD “mengalir” ke pejabat lewat skema fee bank.
Kasus Anambas: pejabat dapat “hadiah” mobil & motor dari bank karena rajin naruh dana daerah di situ.
Itu bukan rumor. Itu fakta.
Dan kalau kamu perhatikan wajah Purbaya saat bahas “Giro”, ada gerakan halus di alisnya
kode keras bahwa dia tahu kotak pandora-nya baru kebuka sedikit.
🕵️♂️ Dari Murid Dadakan Jadi Pengawal Uang Rakyat
Inilah momen pentingnya.
Kita bukan lagi penonton debat.
Kita adalah lulusan kelas ekonomi dadakan versi 2025.
Dan tugas kita sekarang: mengawal uang daerah agar tidak jadi bancakan.
Bukan cuma KDM dan Purbaya yang harus diawasi.
Yang harus kita sorot: oknum-oknum yang main di bawah meja.
Yang bicara manajemen keuangan, tapi hatinya manajemen keuntungan pribadi.
Jadi, yuk… mulai dari kita.
Jadi pengawas, bukan pengamat.
Karena kalau rakyatnya cerdas, koruptornya kejang.
Ekonomi itu bukan cuma angka.
Ia punya moral, punya arah, punya nilai.
Purbaya menyalakan obor literasi, KDM menyalakan empati.
Dua-duanya dibutuhkan.
Yang satu mendorong akal, yang satu menggerakkan hati.
Tapi kalau di bawah mereka ada “oknum” yang menjadikan giro sebagai mesin uang gelap, maka tugas kita para “lulusan kelas dadakan” adalah menjadi Komisi Kawal Floating Money (KKFM) versi rakyat.
Karena negeri ini nggak kekurangan uang.
Yang kurang itu, integritas dan keberanian menjaga uang tetap terang.
Selamat, murid ekonomi rakyat. Kamu lulus dengan nilai A+.
Hanya berdasarkal pengalaman saja…. berbagi pengetahuan ( khas )

