Selasa, 30 Januari 2024

Realitas politik menjelang Pilpres 14 Februari mendatang mengusik nurani saya sebagai rakyat lapisan bawah negeri ini. Lebih-lebih naluri kewartawanan yang saya geluti sejak 1986 dalam jatuh bangun, suka dan duka.
Nurani saya tersentuh, karena nurani tempat bersemayamnya kejujuran sejati yang tak seorang pun kuasa membohonginya. Meski lisan lahiriah berkata A, sebagaimana acapkali dipertontonkan politisi dan pejabat jabatan politik yang kental dengan kepentingan pragmatis, tapi saya yakini nurani mereka tetap setia berkata sejujurnya.
Dengan jabatan kekuasaan, seseorang merasa mulia kedudukannya. Merasa berkuasa dalam segala hal. Dipuji dan disanjung. Bahkan kagum melampaui batas. Tapi dengan jabatan kekuasaan itu pula, seseorang akan jatuh martabatnya. Itulah realitas politik Indonesia saat ini.
Banyaknya fenomena dramatis dapat dijadikan indikasi bahwa kekuasaan Presiden Jokowi dalam periode kedua tidak tampak dimensi spiritualitasnya. Atau sisi ruhaniahnya. Dimensi itu cenderung terabaikan. Nyaris tidak menjadi bagian pertimbangan berperilaku. Yang terlihat terang benderang, Jokowi mudah terpukau oleh dimensi lahiriyah kekuasaan. Sehingga menjadi lengah. Kemudian banyak kalangan memberi label mengabaikan etika. Tunaetika. Bahkan tuna nurani.
Seseorang yang tunaetika dan tunanurani, akan hilanglah rasa malu. Kemudian saat tidak berkuasa, ia jatuh terjerembab secara tidak terhormat.
Saya yakini ini sebagai kebenaran yang diajarkan dalam Al-Qur’an, kitab suci yang diturunkan Alloh SWT dari langit.
Al-Qur’anul Karim memberi kita kesadaran, bahwa dalam jabatan kekuasaan haruslah diisi dengan dimensi ruhaniah, jika kekuasaan itu ingin dihargai. Tapi lagi-lagi saya pun sadar, kekuasaan seorang Jokowi ingin terus berkuasa. Dan ini sudah diketahui publik sejagat. Melalui putra ingusannya yang digandengkan dengan Prabowo, menjadi bukti Jokowi haus kekuasaan ingin berkuasa lagi
Jokowi sebagai muslim mungkin lupa, bahwa dalam kacamata Islam dan agama apapun, kekuasaan itu akan diminta pertanggung jawabannya saat kematian datang menjemput. Kekuasaan yang mengabaikan spiritualitas menjadi tak berarti manakala pertanggungjawaban dihadapan Allah nihil. Nilainya nol besar.
Semua simbol kekuasaan secara psikologis dan non fisik seperti prestise sosial, politis dan kultural tak berguna lagi. Seperti sampah terbuang manakala kekuasaan sudah tidak di tangan. Apalagi, setelah kematian. Kecuali amal perbuatan yang bernilai ibadah.
Jokowi juga mungkin lupa, bahwa setiap kelebihan dan kemegahan yang didapat dari kekuasaan adalah anugerah Alloh SWT sebagai amanat yang wajib ditunaikan, sebelum akhirnya dicabut dan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Sang Pencipta, Alloh SWT
Sebelum jabatan berakhir, kami rakyat yang paling bawah mohon Jokowi renungilah spiritualitas kekuasaan itu untuk
ditanamkan di lubuk nurani paling dalam. Sebab realitas berperilaku politik Jokowi jelas dan terang benderang haus kekuasaan. Karena gagal ingin lanjutkan tiga periode, maka putra ingusannya menjadi tumpahan ambisius meneruskan kekuasaan. Mula-mula untuk wapres, bisa jadi ujung-ujungnya presiden. Itu kalau paslon yang dia dukung menang Pilpres. Jika kalah, sangat mungkin keadaan menjadi kebalikannya. ( Media Nasional Tenarnews jkt)