Catatan :
Didin Maninggara
(Episode 1)
Jumat, 2 Juli 2021. Usai shalat adzar di Cibanteng, sebuah dusun perbukitan yang sepi, sekitar 7 kilometer dari pantai wisata Pelabuhanratu, ujung barat Jawa Barat. Saya membaca berita di beberapa media online mengenai peluncuran buku “Seni Berpikir dan Bekerja ala Bang Zul : Mendayung Menenangkan Badai”.
Dalam berita di media online tersebut, sang penulis, Ahsanul Khalik, menjelaskan bukunya itu merangkum kebijakan-kebijakan Bang Zul, sapaan gaul Gubernur NTB, Zulkieflimansyah. Ia membeberkan banyak perbedaan cara berpikir dan bekerja Bang Zul dibandingkan dengan gubernur sebelumnya. Termasuk dengan Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang menjabat dua periode.
Meski buku itu disebut oleh penulisnya yang menjabat Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB tidak bermaksud membandingkan dengan pemimpin lainnya dan juga tidak bernuansa politis, tapi lebih bermuatan keilmuan. Mungkin bagi banyak kalangan, khususnya saya, isi buku itu rasanya sulit menghindari unsur politis, manakala dikaitkan dengan jabatan politis Bang Zul sebagai seorang gubernur. Apalagi, aroma Pilgub sudah menebar di ranah publik terbuka, bahwa Bang Zul akan dicalonkan kembali oleh partainya, PKS untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode kedua.
Terlepas mengenai isi detail buku tersebut yang belum saya baca, karena baru diluncurkan pada 29 Juni kemarin di sebuah hotel di Mataram. Tulisan saya (episode 1) ini ingin menggarisbawahi dua catatan penting.
Yang pertama, Bang Zul bersama Siti Rohmi Djalillah (Umi Rohmi) mengawali duet kepemimpinannya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTB dalam momentum terjadinya dua musibah besar. Yakni, Gempa Lombok-Sumbawa 2018 yang memporak-porandakan beberapa kabupaten. Terparah, menerjang Kabupaten Lombok Utara. Kemudian disusul musibah pandemi covid-19 yang melanda semua daerah di Indonesia dan sejumlah negara.
Hadirnya pandemi covid-19 di Indonesia, khususnya NTB, telah menjadi ancaman bagi keamanan kesehatan manusia. Pandemi ini membuat kebijakan pemerintah, dari pusat hingga daerah menciptakan ruang baru dalam mengelola keuangan, dengan memprioritaskan sektor pembangunan yang bersentuhan langsung terhadap dampak yang ditimbulkan covid-19. Kepentingan sektor lain, terpaksa dipangkas untuk sementara waktu. Hal itu menjadikan situasi pandemi sebagai strategi baru politik pembangunan, seperti pisau bermata dua.
Tak bisa dielakkan, jika momen seperti ini terus berlangsung tanpa diketahui pasti kapan pandemi ini berkesudahan, akan terus pula menjadi dilema kebijakan Bang Zul yang ditranformasikan dalam kepentingan pandemi covid-19 yang sedang kita hadapi bersama saat ini.
Sejauh pengamatan saya, seni berpikir dan bekerja Bang Zul dalam memotivasi setiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar berlomba-lomba bekerja dalam satu kebersamaan untuk menciptakan kebijakan yang pro rakyat, diapresiasi oleh banyak pihak. Namun di sisi lain, ada agenda kebijakan yang secara tidak langsung sulit dihindari, yaitu politik populisme untuk membangun diri menjadi aktor populis dengan mengambil kebijakan dalam pandemi covid-19.
Bang Zul paling piawai membangun komunikasi sambung rasa di tengah realitas yang terjadi di masyarakat era covid-19. Sebagian Kebijakan-kebijakannya teradopsi, atau tepatnya terinspirasi dari cara kerja politik populisme. Hal itu ia lakukan sebagai salah satu langkah strategis untuk menciptakan relasi yang lebih dekat dengan rakyat. Memperlihatkan sosok diri sebagai pemimpin yang berjuang untuk rakyat, dan sekaligus
memberikan gambaran tentang kepentingannya di Pilgub 2024. Bahkan di Pilpres 2024.
Meskipun Pilgub 2014 masih tiga tahun lagi, Bang Zul terus menerus membangun politik populisme. Ini dapat dibaca melalui langkah yang dilakukan PKS, telah mempersiapkan opsi, apabila pecah kongsi dengan Umi Rohmi di Pilgub mendatang.
Saya meneropong dari jauh dengan lensa yang cukup jelas, bahwa saat ini, Bang Zul mulai membangun klaster baru untuk kepentingan Pilgub, sekaligus Pilpres dan menjadi pembicaraan publik dari sisi pandang masing-masing.
Jika dilihat dari inovasi dan gagasannya sekarang ini dengan program unggulan zero waste dan industrialisasi. Sudah sangat bagus ditambah lagi dengan adanya MotoGP dan KEK. Sehingga momen ini sebenarnya sangat mampu mendongkrak popularitasnya, yang bisa jadi, mempengaruhi elektabilitasnya. Sebab dalam rumus politik pemilu langsung, popularitas tidak selalu berjalan tegak lurus dengan elektabilitas.
Sebagai Gubernur NTB yang sudah berjalan tiga tahun, Bang Zul sangat piawi memainkan peran politiknya. Citra popularitasnya terbangun, antara lain melalui responsibilitasnya ketika menemui demontransi yang menolak RUU Omnibus Law di halaman Kantor Gubernur NTB, tahun lalu. Gejolak demonstrasi yang melibatkan mayoritas mahasiswa di Mataram, berujung tanpa kerusuhan, karena Bang Zul membaur bersama pendemo dan melakukan dialog terbuka, terkesan tanpa sekat.
Situasi yang dilakukan oleh Bang Zul menuai beragam pujian sekaligus kritik dari berbagai kalangan, khususnya kebijakan dalam menanggulangi pandemi. Misalnya seperti kebijakan UKM menjadi salah satu program unggulan Bang Zul.
Semua, kalau tidak disebut sebagian besar gerakan politik populisme Bang Zul yang telah memiliki peta dukungan publik menuju Pilgub berikutnya, nampaknya terasa ada ganjalan. Dan hal itu lumrah, disikapinya dengan tenang dan sabar, karena karakter politik Bang Zul ogah konfrontatif. Seni politiknya membangun rekonsiliatif yang konsolidatif, dan membuka ruang publik untuk partisipasi kritis. Maka, publik pun cukup banyak yang mengkritisi kebijakan-kebijakan Bang Zul, beriringan dengan pujian-pujian yang datang.
Begitulah dalam politik. Kritik yang kritis dari aneka ragam sisi pandang, baik yang berdimensi konstruktif maupun destruktif, acapkali bermuatan kepentingan, entah personal, entah pula institusional. Sebab memang, kepentingan adalah hal yang rekontruktif. Itulah di antara pasal subsidernya, yang bisa jadi, melatarbelakangi Bang Zul menjelaskan saat peluncuran bukunya itu.
“Mendapatkan pujian ketika seseorang memiliki jabatan, merupakan hal yang lumrah. Yang menjadi tantangan adalah apakah pujian tersebut dapat bertahan, meski orang tersebut sudah tidak menjabat lagi. Dalam artian, orang tersebut mampu meninggalkan rekam jejak yang membanggakan selama masa kerjanya.”
Begitu juga dengan kritik. Bang Zul menegaskan, sebagai kepala daerah, kritik menjadi hal yang biasa yang harus selalu diterima. Demi memacu untuk terus bekerja dengan lebih baik dari waktu ke waktu.
“Puja puji ketika orang ada jabatan itu biasa. Setelah puja-puji akan ada kritik dan keduanya harus diterima sama baiknya,” jelas Bang Zul. (Bersambung ke Episode 2)